Friday, July 25, 2014

Cerpen Cinta Di Bawah Gerimis

Hari itu tidak hujan tapi hanya lebih menyerupai sebuah gerimis. Aku cuma bisa terdiam, memandang gerimis yang seakan menari mengikuti alunan desir angin sore itu. Sebenarnya aku ingin menangis, menumpahkan semua air mata.
Aku ingin berlari ke luar halaman agar gerimis itu bisa bersanding dengan gerimis air mataku. Tapi, aku mencoba membendung semuanya. Aku tak mau laki-laki yang saat itu duduk di sebelahku melihatnya. Aku takut dia berpikir aku masih mengharapkannya, walaupun kenyataannya aku memang masih mengharapkannya.
“Dir, kita tidak bisa terus-menerus seperti ini.” ucap Asta. Laki-laki yang saat itu duduk di sebelahku.
“Lalu kamu mau hubungan ini berakhir?” aku menoleh ke arahnya. Dia hanya terdiam. Kubuang lagi pandanganku dari wajahnya.
Gerimis masih menari bersama irama angin. Hanya suara jatuhnya bulir-bulir air yang menjadi pengiring saat kami hanya terdiam. Aku masih mencoba menenangkan diri dan pikiran yang mungkin sudah sedikit berantakan. Tidak mungkin menyelesaikan masalah saat hati dan pikiran sedang kacau.
“Ta, kalau kamu memang ingin kita berakhir. Oke. Aku tidak masalah. Aku juga tidak bisa terus-terusan kamu buat seperti ini.” suaraku memecah keheningan. “Percuma aku datang kesini untuk menjenguk kamu. Alasanmu sakit tapi ternyata kamu memberiku kejutan dengan sebuah pertujukan yang-”
“Dira, cukup!” Asta memotong pembicaraanku.

Seketika bayangan itu datang lagi. Bayang-bayang sebuah pertunjukan yang mampu membuat hatiku seperti tersayat lalu menyisakan luka yang menganga. Pertunjukan memuakkan kala ia sedang mesra merangkul seorang wanita. Dengan lebih mesra lagi dia mendaratkan ciuman di kening wanita itu. Mesra, bukan? Aku sudah terlalu sering menyaksikan Asta bersama wanita (lebih tepatnya mesra bersama wanita). Tapi, untuk kali ini sudah terlalu berlebihan. Terlalu menyakitkan. Terlalu membuat patah hatiku.
Aku bisa saja dari dulu meninggalkan Asta ketika dia pernah menyakitiku. Tapi, aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku masih mencintai Asta dan aku masih ingin bersama dia. Mungkin aku sudah terlalu mencintai Asta, hingga sudah berapa kali dia menyakitiku, aku masih tetap bertahan dengannya. Semakin dia menyakitiku, semakin aku tak bisa melepasnya. Tak mudah meninggalkan begitu saja orang yang kita cintai, meskipun dia sering menyakiti kita. Karena satu alasan: cinta.
Dewasta Deriandri. Dia laki-laki yang mengajariku mengenal cinta serta segala tetek bengeknya. Dari dirinya pula aku mengenal apa itu sakit hati, apa itu patah hati. Asta adalah cinta pertamaku. Kami bertahan sejak duduk di bangku SMA, hingga akan menjadi seorang mahasiswi. Mungkin itu yang membuat aku sulit melepasnya meski telah sering aku disakitinya.
“Dir, a-aku minta maaf…” ucap Asta ragu. Aku menoleh ke arahnya. Kulihat dia menunduk dan seperti ingin mengatakan sesuatu lagi. “Aku pikir… lebih baik kita putus.” lanjutnya.
Putus? Secepat itu dia mengatakan putus. Aku masih seperti tidak percaya saat itu. Aku mengira itu hanya sebuah mimpi buruk karena aku lupa membaca doa sebelum tidur. Tapi, saat itu bukan mimpi. Aku yakin sekali itu bukan mimpi karena seketika kata itu keluar dari mulut Asta, hatiku langsung perih.
Sejujurnya aku tidak bisa menerima kata itu harus terucap. Aku masih tidak bisa menerima kenyataan kalau aku harus mengakhiri hubungan dengannya. Aku menyadari bahwa aku sudah terlalu sering disakitinya dan memang sudah seharusnya aku pergi. Tapi kalau aku masih belum bisa?
Tapi, tidak mungkin juga aku memintanya menarik kata-katanya lagi.
“Aku masih sayang kamu, Dir. Tapi, sepertinya kita-”
Sebelum Asta menyelesaikan kalimatnya, aku langsung menyambar tasku. Aku berlari ke luar halaman menembus gerimis sore itu. Saat itu hatiku benar-benar hancur. Tidak pernah terbayang sama sekali bahwa pada hari itu akan menjadi hari terakhirku bersama Asta. Cinta yang telah kita pelihara selama tiga tahun itu pun harus berakhir pula. Tak ada pilihan lagi bagiku selain harus segera beranjak pergi meninggalkannya. Aku harus segera menjauh darinya walau aku tahu itu akan sangat sulit kulakukan. Tapi, tak mungkin aku memohon padanya agar kembali menarik ucapannya itu.
Cinta membuatku harus tersakiti lagi. Padahal, aku pikir cinta akan memberiku kebahagiaan. Bukankah cinta itu anugerah dari Tuhan? Mengapa harus ada sesuatu yang menyakitkan sebuah anugerah Tuhan? Kini, cinta membuatku takut untuk mencintai lagi.
Air mataku sudah tertumpah bersama jatuhnya kawanan air yang membasahiku.

“Tapi, aku tidak bisa.”
“Dir, sudah cukup Asta menyakitimu. Kau perlu mengasihi dirimu sendiri, Dir.” Rai menasihatiku setelah aku menceritakan tentang kejadian saat gerimis kala itu. Sudah berulangkali dia mencoba meyakinkanku untuk pergi dari kehidupan Asta. Tapi, dia tidak cukup bisa untuk meruntuhkan dinding asmara yang kubangun untuk Asta.
“Tapi aku masih menyayanginya, Rai. Kamu tahu kan?”
Aku masih menyayanginya. Aku masih tidak bisa melepaskan Asta untuk pindah ke pelukan orang lain. Mata dan hatiku juga belum cukup kuat jika harus melihatnya bergandeng mesra dengan wanita lain. Aku tidak bisa melihat itu semua. Cinta sudah terlalu jauh membawaku pada dunia Asta. Cinta telah mengurungku dalam penjara cinta Asta. Meskipun Asta telah memilih untuk tidak bersamaku lagi.
“Dir, aku sahabatmu. Aku tidak bisa terus-menerus melihatmu seperti ini.” ucap Rai. “Asta sudah jelas-jelas tidak mengharapkanmu lagi, lalu kenapa kamu masih memikirkannnya?” suara Rai begitu keras hingga membuat beberapa pengunjung café lain menoleh ke arah kami.
Aku tidak mengerti apa yang sedang ada di pikiranku. Perasaanku masih mengharapkan Asta dan aku berharap bisa kembali lagi padanya. Meski Rai telah berulang kali memberitahuku untuk tidak berharap pada laki-laki seperti Asta lagi, tapi hatiku tak bisa dibohongi. Dan untuk saat ini aku masih belum bisa melepas bayang-bayang Asta. Mungkin aku akan melupakannya tapi tentu tidak sekarang. Semua butuh waktu.
“Dira, aku sudah berusaha meyakinkanmu. Tapi, kau tetap pada pendirianmu.” Rai beranjak dari kursinya. “Kau tahu kan besok aku akan pergi? Jadi, anggap ini permintaan terakhirku sebelum aku pergi.” Lalu dia pergi keluar dari café. Kulihat dia menyeberang jalan di tengah gerimis.
Aku terdiam dan mencoba mencerna satu per satu kata yang Rai ucapkan barusan. Benar, memang. Besok siang Rai akan pergi ke Austria untuk melanjutkan kuliahnya disana. Dia ingin mewujudkan mimpinya sebagai designer grafis yang handal. Maka dari itu, kami sengaja menghabiskan malam ini di café sebagai malam perpisahan kami sebelum Rai pergi. Kulihat keluar café, Rai sudah tidak terlihat.
Mataku tertuju pada sebuah block note yang terletak di atas meja. Aku ingat itu milik Rai. Aku mengambil block note tersebut. Aku ragu untuk membukanya, karena aku tahu Rai tak pernah mengijinkanku untuk melihat apa yang dia tulis di block note tersebut. Dengan rasa penasaran dan keberanian secukupnya, aku membuka lembar demi lembar block note itu. Lalu, tatapanku terhenti pada sebuah halaman yang bertulis “Ini Tentang Sahabat atau Cinta?”.
Kubaca kelanjutan tulisan itu. Tulisan yang membuat jantungku seperti ingin berhenti berdetak. Tulisan yang membuatku tidak percaya. Aku tidak percaya dengan apa yang aku baca. Aku tidak mengerti kenapa bisa-bisanya Rai menulis seperti ini. Lalu, beberapa bulir air menetes di wajahku.

Kulempar blocknote itu ke meja Rai. Dia terkejut dan langsung wajahnya menengadah ke arahku.
“Eh, Dira!” ucap Rai sambil beranjak dari kursinya. “Kau akan mengantarku juga?” tanya Rai.
“Apa maksud tulisan di halaman terakhir itu?” tanyaku dengan nada serius. “Kau mencintaiku, Rai?” lanjutku dengan sedikit berteriak. Rai hanya diam tak menjawab. Wajahnya memperlihatkan kalau dia sedang kebingungan.
“Jawab, Rai!” aku membentaknya. Rai masih tidak mau membuka bibirnya. Dia hanya bisa menundukkan kepalanya dan tak berani menatap wajahku. “Kenapa tidak jawab, Rai?” aku kembali bertanya dengan nada yang parau.
“Dir, ini tidak seperti yang-”
“Kau selama ini mencintaiku ‘kan?” Air mataku mulai mengalir. “Iya, kan?”
“Iya. Aku mencintaimu, Dir.” jawab Rai sambil menatap wajahku lekat-lekat. Air mataku semakin tidak bisa kutahan. Aku benar-benar tidak percaya kalau selama ini Rai menyimpan perasaannya padaku. Sahabat yang setiap hari mendengar curhatku tentang kekasihku.
Rai mendekatiku dan langsung memelukku. Aku merebahkan kepalaku di dada bidangnya.
“Maaf, Dir.” ucap Rai dan aku merasakan detak jantungnya lebih cepat. “Sudah lama aku menyimpan perasaan ini, mungkin 3 tahun, tapi aku tak pernah berani mengatakannya. Aku tahu kamu sangat mencintai Asta. Aku juga takut ini akan menghancurkan persahabatan kita, Dir.” lanjutnya sambil membelai-belai lembut rambutku.
Entah apa yang terjadi. Tiba-tiba aku merasa nyaman saat berada di pelukan Rai. Tak seperti sebelumnya, dimana pelukan Rai terasa biasa bagiku. Sebuah pelukan seorang sahabat. Wajahku yang menempel erat di dadanya merasakan detak jantung Rai begitu cepat, dan seketika menular ke jantungku. Aku juga merasa detak jantungku lebih cepat dari biasanya. Aku yakin Rai mengetahuinya. Aku tidak mengerti apa yang terjadi denganku. Aku masih tidak ingin lepas dari pelukan Rai saat ini. Aku ingin terus didekapnya.
“Dira, aku harus pergi. Maaf, ya!” Rai melepaskan pelukannya. Dia mengambil tasnya lalu melangkah keluar rumah. Sementara aku masih terdiam dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir.
Perpisahan ini tidak seperti perpisahan dua orang sahabat. Tapi, perpisahan ini adalah perpisahan dua orang yang saling jatuh cinta. Ya, aku mencintainya juga sekarang. Setelah kurasakan nyaman di pelukannya dan seketika detak jantung lebih cepat dari biasanya. Aku mengerti bagaimana perasaan Rai selama ini. Tidak mudah memendam perasaan kepada seseorang selama itu. Tapi, Rai bisa melakukannya. Aku tahu dia benar-benar mencintaiku.
“Dira, jaga dirimu baik-baik.” Tiba-tiba Rai berbisik di telingaku. Dia memelukku dari belakang. Rai membalik badanku dan membuat kami berhadap-hadapan. “Aku mencintaimu.” kata Rai lalu mengecup keningku.
Dengan segenap perasaan yang berkecamuk di dalam hati, kurelakan kepergian Rai. Mobilnya melaju di bawah guyuran gerimis siang itu. Perlahan aku melangkah keluar halaman dan mengamati mobil Rai sebelum hilang di ujung jalan kompleks. Tak terasa titik-titik air gerimis membasahi rambut dan bajuku. Wajahku menengadah. Kulihat awan masih terlihat kusam dan wajahku sudah dipenuhi bulir-bulir air gerimis dan air mataku.
Di gerimis yang membasahiku, air mataku harus kembali mengalir. Aku harus kehilangan cinta lagi. Dulu, gerimis memisahkanku lewat sebuah pengkhianatan. Kini, saat aku menemukan cintaku yang baru gerimis membentangkan jarak di antara kami.

Cerpen Karangan: Yudik Wergiyanto
Blog: http://cermin-buram.blogspot.com/

No comments:

Post a Comment