Saturday, July 26, 2014

Cerpen Goresan Cinta Sebuah Diary



Tempat yang indah. Tempat apa ini…? Sepertinya aku baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini. Suasananya sangat sejuk, damai dan indah. Bunga-bunga bermekaran indah dan penuh warna. Dan danau yang terbentang luas. Sungguh tempat yang indah. Ku lihat seorang gadis yang duduk di kursi panjang dengan tatapan lurus ke depan. Aku mulai melangkah mendekatinya. Gadis cantik itu tersenyum padaku. Dia mulai menggeser duduknya seolah mempersilahkanku untuk duduk di sampingnya.
Kami memandang hamparan danau yang terbentang luas itu dengan airnya yang selalu tenang. Sesekali ku lihat gadis itu tersenyum lembut. Semilir angin mengibarkan rambut indahnya yang tergerai itu. Anisa… Ya dia anisa. Aku mengenalnya. Gadis yang selalu tersenyum penuh ketulusan. Kenapa dia juga bisa berada di tempat ini. Kulihat sebuah dairy yang tergeletak di sampingku. Anisa…? Dia berjalan mendekati danau. Merentangkan kedua tangannya. Dan menikmati hembusan angin yang lembut. “kamu senang ada disini?” tanyanya padaku yang kini berdiri di sampingnya. “iya… Tempatnya indah dan damai…” balasku yang masih memandang air danau yang tenang. “kembalilah… Belum saatnya kamu berada disini…!” ucapnya padaku. “kenapa aku harus kembali? Aku masih ingin disini… Dan apa maksudmu jika belum saatnya aku berada disini?” tanya balikku yang hanya mendapat senyum manis darinya. “semua orang sudah merindukanmu… Tempat ini memang indah dan damai… Tapi belum saatnya kamu berada disini…!” tambahnya lagi sambil memainkan air danau itu. “jika kamu menyuruhku kembali, kenapa kamu berada disini…?” tanyaku mendekatinya namun dia malah beranjak pergi. “tempatku disini…” ujarnya mantap dan mulai melangkah menjauh. “maksud kamu apa?” Teriakku padanya. Ku lihat dia mengambil sebuah buku dairy tadi.



Ku sapu semua pemandangan indah yang terlihat oleh kedua mataku. Ku lemparkan batu-batu kecil ke air danau dan membuatnya sedikit pecah dan bergoyang. Kini anisa berada di sampingku lagi. Lagi-lagi dia tersenyum tulus padaku dengan memeluk erat dairy itu. Dia menyodorkan dairy itu padaku. Aku mengambilnya dengan tatapan aneh padanya. “untukku…?” tanyaku. Dia mengangguk kecil. Tanganku mulai membukanya. Dengan cepat anisa menghentikannya. “belum saatnya kamu membaca isi dairy itu,!” ungkapnya. Aku hanya mengernyitkan kening. Sedangkan dia hanya tersenyum simpul. “kembalilah… Semua sudah merindukanmu… Terimakasih sudah menjadi pengisi hatiku… Membuat hariku penuh warna hanya karena senyummu itu, dan satu bintang yang bersinar terang yang kamu berikan untukku… Suatu saat nanti kita akan bertemu lagi di tempat ini… Dalam damainya dan indahnya surga ini…!” ungkapnya yang menggenggam erat kedua tangaku. Genggaman itu semakin terlepas bersama jatuhnya air mataku. Gadis itu berjalan mundur dengan melemparkan senyum kebahagiannya. “anisa… Tunggu aku… Aku masih ingin disini… Ku mohon,!” teriakku namun tak diresponnya. Dairy pemberian anisa terjatuh dan hanyut di danau itu. Segera ku terjunkan tubuhku ke dalam danau. Aku mecoba meraih dairy itu. Segera ku dekap erat dairy itu. Aku mulai tak bisa melawan air yang mulai menelan tubuhku. Dengan sekuat tenaga aku berusaha naik ke permukaan. “tolong… …Tolong…!” teriakku namun tak ada yang meresponnya. Anisa… Ku lihat dia duduk manis di kursi panjang itu dan hanya tersenyum melihatku yang mencoba melawan air danau yang menelan tubuhku ini…

“Anisaaaaaaaa…” teriakku. “hfttt… Hufh, huft!” aku mencoba mengatur pernafasanku. Dengan tubuhku yang terduduk diranjang. Ku pandangi tempat yang serba putih ini. Suasana hening… Hanya suara monitor yang berada di sampingku yang sedikit memecah keheningan… Ku lihat pintu yang mulai terbuka. “arga… Kamu sudah sadar nak?” ucap mamaku dengan lembut mengecup keningku. Ku pandangi semua yang ada di hadapanku. Kedua bola mataku tertuju pada seorang gadis yang menundukkan kepalanya. Angel. Gadis berkulit putih itu adalah sahabat anisa. “angel…?” lirihku. Dia menatapku dengan bola matanya yang mendung. Telihat sekali bola-bola kristal berdesak-desakan disana. “dimana anisa?” tanyaku padanya. Kini bola-bola kristal itu terjun dan pecah menghantam lantai. Angel menangis. Ku lihat satu persatu orang-orang yang ada di hadapanku. Mereka menunduk. Tak ada yang berani menatapku. Tuhan ada apa ini?. “angel… Jika ada kamu pasti ada anisa… Dimana dia… Dia tak menolongku saat aku tenggelam di danau…!” ungkapku. Entah kenapa aku ikut menangis saat melihat angel yang semakin terisak. Aku benar-benar ingin tahu dimana keberadaan anisa. “angel… Kamu tak mau menjawab pertanyaanku?” lirihku padanya. “ga… Anisa sudah tenang, dia sudah berada di pangkuan tuhan…!” ucap dimas yang mendekap tubuh angel. Deggg… Jantungku seolah berhenti berpacu. Darah yang mengalir deras dalam tubuhku seakan tersumbat dan berhenti mengalir. Bibirku membukam. Lidahku kelu. Air mataku terjun begitu saja. “kembalilah… Belum saatnya kamu berada disini…!” ucapan anisa teringat dalam fikiranku. Oh… Tuhan… Inikah jawabannya kenapa anisa menyuruhku kembali. Dan belum saatnya untuk berada di tempat yang sungguh indah dan damai itu… Ternyata dia sudah berda di surgamu…

“ku pejamkan kedua bola mata ini… Berharap bisa terbang bersamanya… Aku seolah pungguk yang selalu merindukan rembulan, setiap malam selalu berkhayal bisa bersamanya… Dalam dekapan erat tubuhnya… Bersandar dalam dada bidangnya… Oh, tuhan… Ku mohon jagalah dia… Saat mata ini terpejam untuk selamanya… Karena mungkin aku tak dapat lagi melihatnya,”

Ilalang melambai-lambai ceria. Menari indah bersama tiupan angin yang mengiringi gerakan mereka. Ilalang seolah bahagia dan tanpa beban. Sinar cerah sang senja seakan ikut tersenyum melihatnya terus menari. Aku tersenyum getir menatap mereka. Kini ku tatap dairy yang ada di pangkuanku. Dairy bersampul merah tua dengan motif bunga lyly putih yang indah. Lembar demi lembar telah ku baca dengan diiringi derai air mata yang mengalir deras. Kenapa aku begitu bodoh. Aku tak pernah menyadari akan persaan tulus seorang gadis yang benar-benar mencintaku. Hatinya begitu kuat memendam cinta yang paling dalam hanya untukku. Ungkapan akan perasaannya tergores dalam lembar-lembar dairy ini. Bait-bait goresan pena cinta terangkai begitu indahnya…

“wahai bintang malam…
Izinkan aku mengukir wajahnya… Dari butir-butir kecil dirimu
Wahai engkau langit malam… Izinkan aku melukis wajahnya di tubuh hitammu…
Bagaimana aku harus berucap… Bahwa aku sangat memcintainya… Aku sungguh memendam rasa untuknya…
Tahukah kalian? Terkadang aku harus tersenyum dalam tangisan… Mencoba baik walau rapuh…
Meski hati tak terbalas, salahkah jika aku tetap mencintainya? Hatiku adalah hati wanita, setegar apapun… Aku tetap rapuh…”

“anisa… Sedalam itu kah persaanmu padaku…? ku mohon maafkanlah aku…” lirihku dengan memeluk erat dairy pemberian anisa

“arga,?”. “angel…?”. “kamu disini… Tante farah mencarimu…!” ujarnya yang kini ada di sampingku. “…” aku hanya tersenyum padanya. Ku lihat sang senja mulai kembali ke peraduan. Suasana hening. Entah apa yang angel fikirkan. Dia terus menatap sang senja yang telah tenggelam dengan tatapan sendu. Bahkan senyumnya yang tak jauh beda dengan anisa terlihat sangat getir dan terpaksa. “angel…!” lirihku padanya. “maafkan aku… Aku telah melukai hati sahabat terbaikmu… Aku…”. “sudahlah ga, semua sudah terjadi… Anisa sudah tenang disana… Di surga yang indah…” ucapnya meyakinkanku dengan senyum tipisnya. “anisa, dia adalah sahabatku yang terbaik… Dia adalah sahabat dari surga yang tuhan ciptakan untukku…!” ucapnya tegar. “kau tahu?”. “,” aku menggeleng kecil. “setiap malam dia selalu berkirim salam untukmu lewat satu bintang yang selalu bersinar terang… Setahuku dia tidak begitu menyukai bintang… Saat aku bertanya padanya, katanya kaulah yang membuatnya bisa menyukai bintang… Dan kau juga yang memberikan satu bintang terang untuknya yang bisa menjaganya dan menjadi tempat untuknya mengungkapan perasaanya…” ceritanya padaku. Aku hanya mengangguk kecil. Aku ingat…



Saat itu aku bertemu dengan anisa yang sedang menangis… Entah apa yang terjadi padanya. Aku mendekatinya yang terduduk di atas rumput sambil menatap sang bulan sabit yang dikelilingi berjuta bintang. “kenapa kamu menangis…?” tanyaku yang langsung duduk di sampingnya. “…” dia tersenyum getir padaku dan langsung menyeka air matanya itu. “kalau kamu nggak mau cerita padaku… Ungkapkan saja sama berjuta bintang yang selalu ceria itu…!” tunjukku pada berjuta bintang yang bersinar terang di langit hitam. “aku nggak suka bintang…!” ucapnya. “oh…” balasku sedikit meliriknya yang terlihat kikuk. Aku tersenyum jail padanya. “bintang itu tercipta bukan hanya untuk menjadi hiasan di langit hitam, bukan hanya menjadi teman sang bulan sabit saat malam datang… Tapi juga bisa menjadi teman curhat untuk kita, menjadi tempat curahan hati dan perasaan kita, bahkan kita bisa berkirim salam rindu untuk orang-orang yang kita kasihi… Lewat bintang-bintang malam itu…!” ungkapku yang mendapat anggukan dan senyum tulusnya. “kalau kamu mau… Ku berikan satu bintang untukmu… Kamu bisa menjadikannya teman untuk tempatmu mencurahkan segala isi hatimu… Dan juga bisa berkirim salam untuk orang yang kamu kasihi…!” ucapku dengan menunjuk satu bintang yang paling bersinar. “memangnya bintang-bintang itu milikmu… Dengan seenaknya kamu berikan satu untukku…?” tanyanya yang sedikit mengerutkan kening. “hmmmhhh… Kalau nggak mau juga nggak papa…!” ujarku sedikit memasang wajah marah dan sesekali menggaruk-nggaruk telungkukku. “hahaha, kamu bisa marah juga, ups!”. “ohh, kamu perhatian juga ya sama aku…!” pdku. “ihh… Gr!” dia memukul bahuku pelan. Gadis itu mulai tersenyum menatap sang bintang yang ku tunjuk. Entah apa yang dirasakannya sekarang. Aku mulai beranjak pergi meninggalkannya yang memejamkan mata indahnya itu dengan kepalanya yang mendongak ke atas…



Aku menangis mengingat malam itu. Aku memang memberikan satu bintang untuknya. Tak kusangka dia melakukan apa yang kukatakan padanya. Kini langit hitam telah muncul membawa berjuta bintang yang bersinar terang. Aku dan angel saling memandang dan melempar senyuman. “lihatlah… Satu bintang yang bersinar terang itu…!” ujar angel dengan girangnya. “iya… Itu pasti anisa… Dia tersenyum pada kita…!” balasku. “itu tandanya dia baik-baik saja disana, percayalah ga!” ungkapnya dengan anggukan mantapnya.
“tuhan… Aku berdoa dan memohon padamu… Berilah tempat terindah untuknya di sisimu… Aku telah kehilangan dia untuk selamanya, katakan padanya… Bahwa aku merindukan senyum yang selalu tulus darinya…”

Ku usap lembut batu nisan yang masih terlihat bersih ini. Gundukan tanah coklatnya masih terlihat basah. Kutaburkan warna-warni bunga yang harum ini. “Anisa deandra”. Terpampang jelas nama indah itu. Ku sandarkan bunga lily putih kesukaan anisa. “nis… Aku sudah membaca buku dairy pemberianmu. Aku benar-benar tak menyangka akan perasaan cinta tulusmu itu… Maafkanlah aku… Aku janji akan sering datang mengunjungimu… Dan menjaga dairy pemberianmu…!” ujarku seolah berbincang dengan anisa. Angel menatapku dengan senyum manisnya. “anisa, aku akan selalu merindukamu…” ucapnya mengecup lembut batu nisan sahabatnya itu. Aku memandang langit biru yang terbentang luas dengan hiasan awan-awan putih yang indah. Ku lihat serang gadis yang tersenyum tulus padaku. Anisa… Aku akan selalu merindukan senyum tulusmu itu… I love you

Cerpen Karangan: Eni Nur Afifah
Facebook: Niefay Afif

No comments:

Post a Comment