Aku masih menikmati kesejukan dari semilir angin yang berhembus di
danau sore itu. Bersender di dada bidangnya. Menikmati hangat
dekapannya. Harumnya yang khas selalu membuatku rindu padanya. Aku
melihat senyum manis yang terukir di bibirnya. Hatiku selalu tenang dan
damai jika bersamanya. Perlahan aku mengusap keningnya yang berair.
Mengembangkan senyuman padanya. “HANDI ILYAS ZULFIKAR” laki-laki yang
kini menjadi separuh jiwaku dan pemilik hatiku. Dulu aku sangat
membencinya. Namun ternyanya benci adalah benar-benar cinta. “Aku sayang
kamu…!!!” Ungkapku padanya yang asyik menikmati semilir angin yang
berhembus. “Begitu pula aku…!” Balasnya. “Walau kau jauh dariku… namun
hatiku dekat denganMu…!”. “Walau jarak memisahkan kita… namun hati kita
tetap satu jua…” Tuturnya lembut dan mengukirkan senyuman yang membuatku
damai. “Janjilah tuk selau denganku selamanya dan biarkan waktu yang
memisahkan kita”. “Jangan pernah takut kehilanganku… karena sesungguhnya
aku ini tercipta untukMu… dan andai waktu berkata lain… aku kan
menunggumu dalam keabadian…!!!” Ucapnya dan langsung mendekapku dalam
pelukannya.
Aku melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.
Pukul 12 siang tepat. Aku mengambil BBku yang barusan berbunyi. Satu
pesan dari Handi. “Tunggu aku 5 menit lagi…!!!”. Aku tersenyum tipis
membaca pesan darinya. Suasana taman terlihat sepi. Hanya ada satu
pasien yang ditemani seorang suster. Kelihatannya dia buta. Aku sangat
iba melihatnya. Apalagi umurnya seumuran dengan Handi… Perlahan aku
menarik nafas dan mulai menghembuskan bersamaan dengan angin yang
membelai rambut panjangku dengan penuh kelembutan. Aku melihat
langkahnya yang sedikit berlari ke arahku. “Hai… udah lama ya? Maaf ya?”
Ucapnya setelah duduk di sampingku. “Iya… kamu terlihat lelah banget…?”
Ucapku seraya mengusap keningnya dengan sapu tanganku. “Iya… tadi ada
pasien aku yang penyakitnya kambuh…!!!” Tungkasnya dan tersenyum tipis
padaku. “Kamu lapar kan? kita makan aja yuk?” Ajakku yang telah berdiri
tegap. “…” Handi menggelengkan kepala. “…” Aku mengerutkan kening.
Melihatnya yang asyik menikmati hembusan angin. “Aku capek…!!!” Ucapnya
manja. Aku terduduk kembali. Memegang pipi kanannya. “Apa yang bisa ku
lakukan tuk menghapus lelahmu Dokter HANDI?” Ucapku yang berhasil
membuatnya terkekeh. “Aku maunya terus sama kamu… bersama dalam dekapan
cinta… bersatu dalam ketulusan kasih sayang dan…!!!”. “Bersatu dalam
Lingkaran cinta, kasih dan sayang yang tulus dari lubuk hati dua insan
yang saling mengasihi…!” Tambahku dan tertawa bersamanya. Pelukannya
begitu erat hingga aku sedikit susah bernafas. “Janjilah tuk selalu
bersamaku…”. “Iya…” Tungkasnya memencet hidungku.
—
Aku memasangkan cicin perak berhiaskan mutiara merah di tengahnya ke
jari kelingking Handi. Dan itu juga ia lakukan padaku. Kami saling
bertatapan dan melemparkan senyuman. Semua tepuk tangan diberikan kepada
kami dari para tamu yang hadir.
Pukul 12 malam acara telah selesai. Aku dan Handi menuju taman
belakang rumahku. Mulai duduk di kursi panjang yang ada di taman. Kami
asyik menatap berjuta bintang yang menghiasai langit hitam. Aku menaruh
kepalaku di pundaknya hingga mendapat sambutan tangannya yang melingkar
memelukku. Aku sedikit mendongak menatap wajahnya yang masih menatap
bintang. “Handi…!!!”. “Apa???”. “Jika nanti kita menikah… apakah hal-hal
seindah ini dan terindah lainnya yang pernah kita lalui akan terjadi
saat kita sudah berumah tangga… apalagi jabatanmu sebagai seorang
dokter… pasti kamu akan sibuk dengan semua urusanmu… yang jelas…
pasien-pasien kamu…!!!” Jelasku panjang lebar dan mulai menatapnya.
Sedangkan dia hanya tersenyum melihatku. Perlahan kedua tangannya
melingkar mendekap tubuhku. “Jangan pernah takut bidadari surgaku… aku
nggak akan pernah menduakanmu dengan pekerjaanku…” Ujarnya seraya
membelai rambut panjangku. “Aku sayang kamu CITRA LADIVA FANISYA…
Berjanjilah untuk menjadi pendamping dalam hidupku tuk selamanya… dan
aku berjanji akan selalu menjagamu…” Ungkapnya berlutut di depanku
dengan memberikan setangkai mawar merah padaku. Aku tak mampu menahan
air di mataku. Handi memang penjaga hatiku. Hanya dia laki-laki yang
mampu membuatku damai. Kini pelukkannya membuatku terbawa dalam buaian
cinta sejati. Aku benar-benar yakin, dialah jodoh yang diciptakan sang
maha pencipta untukku. Dunia Akhirat.
Kini aku mulai melangkahkan kakiku menuju tempat pesanan gaun
pengantin yang akan aku pakai saat hari pernikahanku dengan Handi tiba.
Dengan senyum yang mengembang di bibirku. Aku menyapa pemilik kios baju
pengantin yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Melisa. “Hai Lis”
Sapaku sambil cipika-cipiki padanya. “Hai… Handi mana?” Tanyanya saat
kami telah duduk di kursi yang ada di ruang kerjanya. “Dia lagi ada
jadwal operasi… Mungkin satu jam lagi dia akan menyusul…” Jelasku
padanya yang kini mengambil dua minuman bersoda dari kulkas yang ada di
ruangan kerjanya. “Cit… kamu bukannya dipingit malah masih ketemu aja
sama Handi… pamalik lho…” Ungkap Melisa sambil tersenyum menggoda
padaku. “Hahaha… mau gimana lagi… habisnya semua urusannya udah
diserahkan padaku dan pastinya sama Handi… Orangtua kita juga nggak
kalah sibuk…!!!” Jelasku sambil membaca majalah terbitan terbaru. “Kamu
kapan nyusul sama Rafka Mel…?” Tanyaku yang berhasil membuatnya
tersenyum malu. Entah kenapa dia bersikap seperti itu. Padahal
hubungannya terjalin lebih lama dari aku dan Handi. “Bentar lagi kita
juga akan tunangan kok Cit… mungkin satu minggu setelah pernikahanmu
dengan Handi…” Ungkapnya dan membuatku tersenyum jahil padanya.
Malam ini rembulan bersinar terang. Seolah menjadi raja di antara
berjuta bintang yang mengelilinginya. Aku menikmati malam yang indah ini
di balkon kamarku. Besok adalah hari terindah yang takkan pernah bisa
ku lupa. Menjadi seorang putri yang berdampingan dengan seorang radja.
Aku mulai tersenyum sendiri. Rasanya aku sudah tidak sabar untuk
melewati hari esok dengan Handi. Aku melangkahkan kakiku saat mendapati
HPku berbunyi. “Hallo, kak Mira, ada apa?” Tanyaku sedikit kaku karena
mendengar isak tangis yang mungkin itu adalah tangisan Kak Mira. Kakak
Handi. Apa yang terjadi?
“Handi kecelakaan saat pulang dari rumah sakit… dokter bilang itu karena
penyakit kanker otaknya kambuh…” Ungkap Kak Mira yang memelukku erat.
Seperti disambar petir aku tak bisa berbuat apa-apa… kenapa ini terjadi.
Kanker otak?. Kenapa aku baru tahu hal itu… “Polisi menemukan ini…
mungkin ini untukmu Cit…!!!” Ucap Kak Mira memberikanku surat berbungkus
amplop biru muda dan liontin perak bergandul love yang berisi fotoku
dengan Handi.
Ini adalah hari yang ku nanti. Dimana pernikahanku akan berjalan
lancar bersama seseorang yang sangat ku cintai. Tapi takdir berkata
lain. Gaun berwarna putih yang akan ku pakai bersamanya kini menjadi
warna hitam. Kebahagiaan yang mungkin mewarnai hari ini malah menjadi
kesedihan beradu tangisan air mata. Aku mengusap pelan batu nisan yang
tertancap digundukan tanah coklat itu. Warna-warni bunga yang ada di
gundukan tanah coklat masih kutatap nanar. Air mataku tak mau berhenti.
Kenapa harus secepat ini. Bukankah dia berjanji tuk menjagaku. Menemani
hariku. Bersamaku selalu dalam menjalani hari-hari indah dalam bahtera
rumah tangga. “HANDI ILYAS ZULFIKAR”. Terpampang jelas nama itu di batu
nisan yang masih ku pandangi. “Handi kamu jahat… kenapa kamu mengingkari
janji yang telah kamu utarakan padaku… bukankah kamu paling nggak suka
dengan orang yang ingkar janji?” Ungkapku sembari menyeka air mataku.
Aku merasakan setuhan lembut di pundakku. Cahaya putih menyilaukan
mataku. Pegangan tangan yang lembut itu semakin terlepas begitu saja.
Mulutku tak mampu berucap. “Handi…”. Hanya senyuman yang ia berikan
padaku sambil berlalu pergi menuju sinar terang itu. “Handi… tunggu
aku…” Ujarku padanya yang kini hilang ditelan cahaya putih itu…
Aku menatap cermin yang ada di kamarku. Mataku sangat sembab.
Kepalaku sangat berat. Ku lihat rembulan yang sangat indah menyapaku
lewat jendela kamarku yang terbuka itu. Aku melangkahkan kakiku
mendekati jendela kamarku. Semilir angin menyapaku penuh kelembutan. Aku
menatap rembualan yang bersinar terang di langit yang hitam itu. Dan
aku terseyum tipis saat melihat satu bintang yang bersinar terang dekat
dengan rembulan itu. Aku ingat akan surat yang diberikan kak Mira padaku
saat di rumah sakit kemarin. Aku merogoh saku bajuku. Kini mulai ku
buka surat yang terbungkus amplop biru muda. Warna kesukaanku dan Handi.
Dan liontin yang masih kupandangi ini. Aku tak sanggup menahan air mata
ini. Setetes air mataku telah menodai surat dari Handi yang masih ku
tatap dengan sejuta rasa rindu padanya. Ku ambil setangkai mawar merah
yang ada di vas bunga di meja dekat ranjang tidurku pemberian Handi
padaku beberapa hari yang lalu. Aku mulai duduk di balkon kamarku. Dan
mulai membaca surat dari Handi.
“To: CITRA LADIVA FANISYA
“Bidadari Sugaku…”
Saat Tuhan mempertemukan kita…
Saat itu juga cinta diam-diam tumbuh begitu saja,
Cinta memang memilih hati yang tepat
Tapi sebenarnya takdirlah yang menyatukan…
Aku menemukan sesosok bidadari surga…
Yang mungkin selama ini banyak yang mengincarnya…
Tapi Tuhan hanya menginzinkan aku yang mendapatkannya…
Dan aku pun berjanji tuk menjaganya…
Namun… aku tak berjanji untuk itu…
Karena ku sadari siapa diri ku ini…
Aku hanya bisa berucap…
Tapi Dialah yang mengusai segalanya
Bidadari Surgaku… aku tak mau melihatmu menangis… maafkanlah aku yang
tak bisa menepati janjiku padamu. Aku memang tak pernah bercerita
padamu. Aku hanya tak ingin membebanimu. Setiap malam aku berdoa
padanya. Agar aku diberi kesempatan tuk menjagamu. Walau hanya sebentar
saja. Aku juga meminta agar Tuhan tak memanggilku saat hari kebahagiaan
kita tiba. Tapi jika memang itu benar-benar terjadi. Aku hanya bisa
pasrah akan takdir darinya. Aku pergi bukan berarti akhir dari
segalanya. Aku sayang kamu dan aku cinta sama kamu… Aku yakin jika ada
yang lebih dariku yang mampu menjagamu. Tapi hanya satu pintaku. Jangan
lupakan aku…
From: HANDI ILYAS ZULFIKAR
Aku menatap surat yang tlah basah karena air mataku ini. Aku tak
menyangka akan takdir ini. Handi… aku takkan melupakanmu… kaulah pemilik
hatiku tuk selamanya…
Apa yang harus ku buat…
Saat engkau tak lagi di sisiku tuk selamanya
Air mata yang berderai keluar
Kini tetap melukis dalam kesedihan
Kenapa takdir menyatukan…
Jika akhirnya memisahkan
Kenapa harus dipisahkan
Saat CINTA kita benar-benar terjalin indah…
Jangan mengatakan kan ada pengganti setelah kepergianMu
Karena tak kupungkiri yang ada dalam hatiku hanya kamu
Dan jika TUHAN mengizinkanku tuk bertemu denganMu…
Nantilah aku dalam keabadian…
dan jika Tuhan berkehendak… aku akan segera menyusulmu… karena itu “NANTILAH AKU DALAM KEABADIAN…”
(TAMAT…)
Cerpen Karangan: Eni Nur Afifah
No comments:
Post a Comment